SLA atau Service Level Agreement adalah salah satu dokumen paling krusial dalam hubungan kerja antara penyedia layanan dan klien. Dokumen ini menetapkan ekspektasi, standar layanan, dan bentuk tanggung jawab kedua belah pihak. Namun, banyak perusahaan—baik penyedia maupun pengguna layanan—seringkali membuat kesalahan saat menyusun atau menerapkan SLA, yang akhirnya merugikan kedua pihak.
Agar SLA benar-benar menjadi alat kontrol dan evaluasi yang efektif, penting untuk mengenali kesalahan-kesalahan umum berikut ini.

1. SLA Terlalu Umum dan Tidak Spesifik
Salah satu kesalahan paling sering terjadi adalah membuat SLA yang terlalu kabur dan tidak memberikan batasan yang jelas. Misalnya, menuliskan:
“Kami akan memberikan layanan terbaik untuk kebutuhan Anda.”
Kalimat seperti ini terdengar bagus, tapi tidak memiliki ukuran yang jelas. SLA harus memuat standar yang terukur dan terdefinisi, seperti:
-
“Respon pertama terhadap tiket akan diberikan maksimal dalam 1 jam.”
-
“Uptime sistem minimum 99,9% per bulan.”
Tanpa parameter yang konkret, akan sulit melakukan evaluasi atau menagih tanggung jawab bila terjadi kegagalan layanan.
2. Tidak Melibatkan Tim Teknis dan Operasional
SLA sering kali disusun hanya oleh tim legal atau manajemen tanpa masukan dari pihak yang menjalankan operasional sehari-hari. Akibatnya, standar yang ditentukan sering kali tidak realistis atau tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Contohnya, menjanjikan resolusi masalah kritis dalam waktu 30 menit, padahal tim teknis baru aktif di jam kerja dan butuh waktu diagnosis awal minimal 1 jam. Keterlibatan tim operasional dalam penyusunan SLA adalah kunci untuk memastikan kesepakatan yang masuk akal dan bisa dijalankan.
3. Tidak Menyesuaikan SLA dengan Jenis Layanan
Tidak semua layanan membutuhkan SLA yang sama. Namun sering kali, perusahaan menggunakan template SLA yang sama untuk berbagai layanan. Ini bisa menimbulkan ketidaksesuaian ekspektasi.
Misalnya, layanan backup data mungkin membutuhkan SLA yang menekankan pada jadwal otomatis dan keamanan, sedangkan layanan customer support lebih fokus pada waktu tanggapan dan penyelesaian masalah. SLA yang efektif harus disesuaikan dengan sifat layanan dan kebutuhan penggunanya.
4. Melewatkan Proses Pemantauan dan Pelaporan
SLA hanya efektif jika kinerja layanan benar-benar dipantau dan dilaporkan secara berkala. Sayangnya, banyak perusahaan menyusun SLA tapi tidak memiliki sistem pemantauan yang jelas.
Contoh kelalaian umum:
-
Tidak ada sistem log untuk uptime/downtime
-
Tidak mengarsipkan laporan tiket dukungan
-
Tidak pernah melakukan evaluasi SLA secara berkala
Akibatnya, meskipun terjadi pelanggaran SLA, tidak ada data konkret untuk melakukan evaluasi atau kompensasi.

5. Tidak Menyusun Mekanisme Eskalasi Masalah
Ketika layanan tidak berjalan sesuai standar, harus ada jalur yang jelas tentang siapa yang harus dihubungi dan bagaimana proses penyelesaiannya. Kesalahan umum adalah tidak menyertakan bagian eskalasi ini dalam SLA.
Sebagai contoh, SLA yang baik akan menyebutkan:
“Jika masalah tidak diselesaikan dalam waktu 24 jam, klien berhak menghubungi manajer layanan dan meminta eskalasi ke level manajer teknis.”
Tanpa jalur eskalasi, klien akan merasa frustasi saat terjadi masalah yang tidak segera ditangani.
6. Mengabaikan Mekanisme Kompensasi atau Sanksi
SLA yang tidak memuat konsekuensi ketika layanan gagal, tidak akan memiliki kekuatan dorong. Kompensasi tidak harus selalu berupa uang, bisa juga berupa potongan tagihan, layanan tambahan, atau perpanjangan kontrak.
Contoh mekanisme yang efektif:
-
“Jika uptime bulanan kurang dari 99%, maka klien akan mendapatkan potongan tagihan sebesar 10%.”
Tanpa insentif untuk tetap menjaga performa, SLA menjadi kurang bermakna secara praktis.
7. Tidak Ada Revisi atau Evaluasi Berkala
Bisnis berkembang, teknologi berubah, dan kebutuhan pelanggan pun bisa berubah. SLA yang disusun sekali lalu diabaikan selama bertahun-tahun tidak akan mencerminkan kenyataan terbaru.
Idealnya, SLA perlu direview minimal setiap 6–12 bulan untuk memastikan:
-
Apakah target masih realistis?
-
Apakah kebutuhan klien berubah?
-
Apakah ada perubahan teknologi atau sistem?
Tanpa evaluasi, SLA bisa jadi usang dan tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini.

8. Menggunakan Istilah Teknis Berlebihan
Tujuan SLA adalah memperjelas, bukan membingungkan. Namun kadang penyusunnya terlalu banyak menggunakan jargon teknis atau bahasa legal yang sulit dipahami oleh pihak non-teknis.
Alih-alih menulis:
“Replikasi basis data real-time dengan failover multi-region dan RPO 0 detik.”
Lebih baik dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti:
“Sistem akan secara otomatis mem-backup data setiap saat, dan dalam kondisi gagal, data tetap bisa diakses tanpa kehilangan apa pun.”
SLA yang baik bukan hanya soal janji tertulis, tapi soal komitmen nyata yang bisa diukur, ditindaklanjuti, dan dievaluasi. Menghindari kesalahan-kesalahan umum dalam penyusunan dan implementasi SLA akan membantu membangun kepercayaan jangka panjang antara penyedia layanan dan pengguna layanan.
Ingat, SLA yang efektif selalu bersifat kolaboratif, bukan sepihak. Jangan ragu melibatkan berbagai pihak dalam penyusunannya dan lakukan evaluasi berkala untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan terbaru.
Jika Anda ingin bantuan menyusun atau merevisi SLA Anda, saya siap bantu dengan pendekatan praktis dan realistis.
