Quiet Quitting: Bekerja Secukupnya, Hidup Lebih Seimbang

Quit Quitting

Pernah merasa lelah secara emosional karena kerjaan yang nggak kunjung habis? Atau merasa udah kerja keras tapi nggak dihargai? Kalau iya, mungkin kamu sedang berada di fase yang disebut “quiet quitting”. Tapi tenang, ini bukan berarti kamu diam-diam mengundurkan diri, ya.

Quiet quitting adalah istilah yang viral sejak 2022 dan makin ramai dibahas di 2025. Fenomena ini menggambarkan kondisi di mana seseorang tetap bekerja sesuai deskripsi pekerjaan, tapi tidak lagi melakukan hal-hal ekstra di luar tanggung jawabnya. Artinya, nggak ada lagi kerja lembur tanpa dibayar, menjawab email di luar jam kantor, atau jadi “yes person” untuk semua permintaan.

Kenapa Quiet Quitting Jadi Tren?

Banyak anak muda, terutama Gen Z dan milenial awal, mulai menyadari pentingnya menjaga mental health dan work-life balance. Mereka merasa dunia kerja saat ini sering menuntut lebih tanpa kompensasi yang adil. Akibatnya, muncul kelelahan emosional, burnout, dan rasa kehilangan arah.

Quiet quitting menjadi bentuk “perlawanan halus” terhadap budaya hustle atau kerja mati-matian yang dulu dianggap keren. Sekarang, yang keren itu justru bisa bekerja dengan efisien, tetap produktif, tapi tidak mengorbankan waktu pribadi dan kesehatan mental.

Tanda-Tanda Kamu Mulai Quiet Quitting

  1. Hanya bekerja saat jam kerja

Begitu jam kerja selesai, laptop langsung ditutup. No more overtime.

  1. Menolak tugas tambahan

Kalau nggak sesuai jobdesc atau nggak ada insentif jelas, kamu memilih untuk berkata “tidak”.

  1. Tidak lagi antusias ikut meeting ekstra

Meeting yang terlalu sering tanpa tujuan yang jelas? Skip aja.

  1. Fokus ke kehidupan di luar kerja

Kamu mulai lebih peduli pada hobi, keluarga, atau sekadar waktu santai tanpa gangguan notifikasi kerja.

Apakah Quiet Quitting Itu Buruk?

Enggak selalu. Quiet quitting bukan berarti kamu malas atau nggak profesional. Justru, banyak orang yang melakukan ini tetap menjalankan pekerjaannya dengan baik. Hanya saja, mereka tidak lagi membiarkan pekerjaan mendominasi seluruh hidupnya.

Yang jadi masalah adalah ketika quiet quitting dilakukan karena frustrasi dan tidak disertai komunikasi terbuka dengan atasan. Ini bisa menciptakan suasana kerja yang pasif-agresif dan memicu miskomunikasi.

Cara Menyikapi Quiet Quitting dengan Sehat

  • Komunikasi dengan atasan

Kalau kamu merasa beban kerja berlebihan atau kurang dihargai, bicarakan. Kadang, bos kamu juga nggak sadar kalau kamu kewalahan.

  • Evaluasi ulang tujuan karier

Jangan sampai kamu stuck di zona nyaman hanya karena takut perubahan. Kadang quiet quitting adalah sinyal bahwa kamu butuh tantangan baru.

  • Perkuat soft skills

Bekerja cukup bukan berarti berhenti belajar. Asah kemampuan komunikasi, time management, dan problem solving agar tetap kompetitif.

  • Prioritaskan diri sendiri

Istirahat itu penting. Jangan merasa bersalah kalau sesekali kamu butuh rehat untuk mengisi ulang energi.

Quiet quitting adalah cerminan bahwa anak muda sekarang lebih sadar akan hak dan batasan dirinya. Mereka belajar bahwa hidup bukan cuma soal kerja, tapi juga tentang menikmati proses dan menjaga kesehatan jiwa.

Sebagai institusi pendidikan yang mendorong mahasiswa untuk berkembang secara akademik dan personal, Telkom University Jakarta juga berkomitmen membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga tangguh secara emosional. Karena itu, penting untuk menciptakan budaya kerja yang sehat sejak di bangku kuliah. Yuk, mulai dari sekarang, kenali batas dirimu dan temukan ritme hidup yang seimbang!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Secret Link